Mas mantri menjenguk tuhan

Pada pagi hari di hari lebaran yg lalu, Mas Mantri tidak muncul di tempat sholat Id. Padahal boleh dibilang, sebagian besar warga kampung tumplek blek disana dalam suasana khusuk sekaligus gembira.

Ketidak hadiran Mas Mantri banyak dipertanyakan orang. Ya, apabila pada kesempatan yang agung seperti sholat Id, lelaki paruh baya itu tidak terlihat, pasti ada sesuatu yang terjadi atas dirinya. Maka setelah selesai sholat dan bersalaman dengan sesama warga kampung, saya langsung menuju rumah Mas Mantri. Den Besus dan Kang Marto Pacul yang mengetahui rencana saya sontak bergabung.

Sampai ditujuan kami mendapati rumah Mas Mantri terlihat sepi. Pintu depan tertutup. Anehnya, dari dalam terdengar suara radio menggemakan takbir. Den Besus memanggil –manggil pemilik rumah, tak ada jawaban. Kami saling berpandangan karena kami mulai cemas, jangan-jangan telah terjadi sesuatu yang serius terhadap orang yang sering kami ajak jagongan ini. Saya usul agar Pak RT diberitahu, sebab siapa tahu ia kena musibah tersengat listrik misalnya. Ya, saya bergerak menuju ke rumah Pak RT.

Tetapi belum jauh kaki melangkah, tiba-tiba kami mendengar suara orang terbatuk dari gubug agak di belakang rumah Mas Mantri. Itu rumah liliput yang ditinggali sendiri oleh Nek Trimo. Kami bertiga sepakat pergi ke gubug itu dan menemukan Mas Mantri sudah berada disana.

Anehnya Mas Mantri sudah necis dengan dandanan kain sarung serta kopiah baru. Baju kokonya putih bersih seperti orang yang siap pergi ke masjid.

“ Kok sampeyan masih disini?“ tanya Den Besus. “ Kenapa tidak ikut sholat Idh?“

Mas Mantri tidak segera menjawab karena Nek Trimo yang tergeletak lemah di balai balai bambu kembali terbatuk, dan terus terbatuk lalu mengerang. Sosok tubuhnya yang tampak sangat ringkih hampir lenyap di balik selimut kain lusuh. Kami merasa terjebak oleh suasana haru.

Apalagi setelah kami mengetahui lebih jelas keadaan di dalam gubug itu ; tak ada makanan atau minuman apalagi obat-obatan.

“Tadi pagi sebenarnya saya sudah siap berangkat ke tempat sholat Idh. Tapi karena mendengar Nek Trimo terus terbatuk, saya datang kemari." Mas Mantri mencoba memberi penjelasan.

“Lalu sampeyan tak tega meninggalkan dia seorang diri?“ tanya saya.

Mas Mantri mengangguk, dan wajahnya kelihatan ragu. “Karena menemani Nek Trimo sehingga tak bisa pergi sholat Idh, apakah saya salah?“ tanya Mas Mantri dengan pandangan mata tertuju kepada saya.

Den Besus dan Kang Marto Pacul pun berbuat sama sehingga saya merasa jadi pusat perhatian. Entahlah, pertanyaan Mas Mantri terasa langsung menusuk dasar iman saya.

Ya Tuhan, saya merasa malu karena tiba-tiba saya teringat pernyataan Tuhan sendiri bahwa barang siapa menjenguk si sakit, si haus, dan si lapar, maka berarti dia telah menjenguk Tuhan. Dan ternyata Mas Mantri-lah yang telah melakukan kesalehan tersebut. Saya merasakan adanya ironi yang tajam karena sangat boleh jadi Mas Mantri justru belum tahu akan adanya pernyataan Tuhan itu. Nek Trimo terbatuk lagi, kering dan dalam.

“Wong ditanya kok malah bengong,“ kalimat Den Besus mengejutkan saya.

“Ya Den, saya sangat percaya tak ada kesalahan apa pun pada diri Mas Mantri yang tidak pergi sholat Idh demi menemani Nek Trimo.“

“ Ah apa iya ? “ tanya Kang Marto Pacul. “Meninggalkan sholat Idh untuk menjaga orang sakit, apakah tidak berarti lebih mengutamakan kepentingan manusia ketimbang kepentingan Tuhan?“

Lagi, dasar iman saya terasa tertusuk, kali ini oleh pertanyaan Kang Marto Pacul. Karena gelisah, saya tak bisa segera bicara. Pikiran saya melayang.

Oh, alangkah banyak orang lupa bahwa hakikat ibadah adalah penyebarluasan kasih sayang Ilahi di dunia agar manusia berjumpa dengan Tuhan dalam ramatullah kelak. Dan pagi ini Mas Mantri memang telah meninggalkan sholat Idh. Namun sebagai penggantinya lelaki tersebut telah melakukan ibadah maknawi yang sangat tinggi nilainya. Mas Mantri telah menunaikan silaturahmi paling hakiki antar sesama manusia, sekaligus menziarahi Tuhan seperti telah dinyatakan dalam sabda Dia sendiri.

Silaturrahmi macam itu terang lebih maknawi daripada sholat (sunah) Idh, serta salam- salaman yang masih bersifat simbolis.

“Eeeee… kamu kok jadi pelamun?“ tegur Kang Marto Pacul. “Tadi saya bertanya, apakah tindakan Mas Mantri pagi ini tidak berarti menomorsatukan kepentingan manusia dan menomorduakan kesetiaan terhadap Tuhan?“ “Saya yakin tidak!“ Jawab saya sambil menelan ludah. “Soalnya begini, apabila sampai terjadi Nek Trimo meninggal dalam keadaan merana, orang sekampung, terutama Mas Mantri yang tinggal paling berdekatan yang berdosa. Bukankah seorang seperti Nek Trimo ini merupakan amanat Tuhan bagi kita semua? Lagi pula sholat Idh hukumnya kan sunah. Sementara menyantuni fakir miskin hukumnya wajib. Jadi pagi ini Mas Mantri telah meninggalkan perkara sunah demi melakukan pekerjaaan wajib. Maka tidak salah bukan?“

Den Besus dan Kang Marto Pacul diam, saya kira pegawai kantor kecamatan dan tukang becak lugu itu bisa memahami omongan saya.

“Kita tidak layak terlalu banyak omong di hadapan Nek Trimo yang sedang sakit,“ Mas Mantri tiba-tiba bicara. “Kita harus segera melakukan pertolongan nyata. Saya mau pergi ke apotik jaga, cari obat sementara. Saya minta Kang Marto Pacul pergi ke kecamatan tetangga memberitahu kerabat Nek Trimo.“

“Saya akan mengambil termos dan makanan,“ kata saya.

“Lalu saya kebagian apa?“ tanya Den Besus.

"Sementara kami pergi, tungguilah Nek Trimo disini,“ jawab Mas Mantri.

“Jadi kita tidak melakukan silaturahmi dan salam-salaman? Ini kan hari lebaran?“ tanya Den Besus lagi.

“Ya inilah silaturahmi yang sebenar - benarnya“ jawab Kang Marto Pacul. Ah ternyata tukang becak lugu itu bisa menjawab dengan tepat pertanyaan Den Besus. Kemudian Mas Mantri, saya dan Kang Marto Pacul berangkat. Pagi ini kami merasakan sentuhan hakikat persaudaraan sejati. Karena pagi ini kami mengikuti Mas Mantri menjenguk Tuhan.

Jangan lupa komentar dan follownya : spiritualmuslim.mywapblog.com :)