Sejarah adanya BUBUR SURO (peringatan tahun baru hijriah)

Seperti apa urang Sunda menyambut Muharam? Dalam salah satu pidatonya berjudul “Ngabageakeun Muharam”, dai kondang almarhum K.H. A.F. Ghazali merekam bagaimana masyarakat Sunda di Priangan menyambut datangnya bulan Muharam.

Muharam menjadi penanda pergantian tahun dalam kalender Hijriah. Sistem kalender hijriah ditetapkan pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Muharam dipilih sebagai mula dalam kalender Islam karena di bulan ini terjadi banyak peristiwa penting terkait perkembangan Islam. Salah satunya adalah peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Selain itu, bagi umat Islam, Muharam merupakan bulan istimewa setelah Ramadan.

Puasa asyura

Selain peristiwa hijrah Nabi, kejadian penting yang berlangsung pada Muharam, yaitu wafatnya Sayyidina Hussein bin Ali. Cucu Nabi ini meninggal secara tragis dalam perang yang kelam dalam sejarah Islam. Hussein, putra Ali, meninggal di medan perang Karbala pada tanggal 10 Muharam. Peristiwa itu kemudian diperingati sebagian umat Islam dengan puasa asyura.

Puasa asyura artinya puasa yang dilakukan pada tanggal 10 Muharam. Dalam bahasa Arab, sepuluh itu a`syaratun dan diadaptasi dalam lafal orang Sunda menjadi asyura.Puasa ini juga termaktub dalam hadis Nabi, “Shauman yaumin asyura”.

Kebiasaan berpuasa pada hari itu juga disebut dalam masyarakat Sunda sebagai haul. Biasanya dalam bentuk pengajian. Tujuan haul, kata A.F. Ghazali adalah untuk “ngemut- ngemut, berduka cita, berkabung kana pupusna Sayyidina Hussein, pamingmpin urang, hayu atuh urang bela ku urang! Urang tuluykeun pamaelanana!

Bubur “suro”

Bubur suro adalah makanan berbahan dasar beras. Bubur suro ini agak istimewa. Bubur ini dihidangkan pada 10 Muharam. Rasanya asin dan manis. Tampilannya pun cukup unik dengan dwiwarna, merah dan putih, mirip bendera Indonesia. Warna merah bercita rasa manis sementara yang putih terasa asin.

K.H. A.F. Ghazali menceritakan asal usul bubur suro ini. Tradisi pembuatan bubur suro ini bermula dari penyebaran Islam yang dilakukan para wali di Indonesia. Setiap Muharam tiba, para wali menganjurkan masyarakat untuk bersedekah. Anjuran bersedekah tidak bersambut baik di masyarakat. Penyebabnya, pada saat itu, masyarakat umumnya masih sangat miskin. “Maklum harita atuh, boro- boro aya mobil, roda ge can aya. Malah dahareun ge hese. Datang Muharam usum paceklik, atuh euweuh dahareun keur sodakoh”. Demikian diceritakan A.F. Ghazali dalam “Ngabageakeun Muharam”.

Nah, karena keterbatasan ekonomi, masyarakat hanya dapat memberikan satu piring beras. Itu pun tidak semua orang dapat bersedekah dengan beras. Sebagian lagi hanya menyumbang kacang tanah, daun surawung (kemangi), bawang merah, bahkan ada yang bersedekah dengan gula merah. Meski dalam keadaan serbakekurangan, pelaksanaan puasa dan pengajian memperingati Muharam selalu diikuti banyak orang.

Setiap acara pengajian, kiai atau pemuka agama menyediakan konsumsi bagi jemaah. Makanannya hasil sedekah dari jemaah itu sendiri. Namun, karena keterbatasan itulah, para wali berinisiatif menyajikan beras hasil sedekah tadi menjadi bubur. Alhasil jumlahnya menjadi lebih banyak.

Sementara asal usul warna merah putih dan manis asin pada bubur itu, tidak lain dari campuran gula merah. Sebagian beras dijadikan bubur asin, dan sebagian lagi dicampur gula merah. Rasa manis didesain sebagai ganti penganan cuci mulut karena tak ada buah-buahan waktu itu. Nah, dalam segala keterbatasan itu, jadilah bubur suro yang unik itu.

Sudah sangat sulit menemukan tradisi seperti ini pada masyarakat Sunda kiwari. Kini, prosesi peringatan tahun baru Hijriah lebih banyak dilakukan dengan konvoi keliling kota atau pertunjukan hiburan. Jarang yang berpuasa, apalagi membagi bubur suro.

Sedekah

Sejak reformasi, pergantian tahun Hijriah semakin ramai dirayakan umat Islam Indonesia. Ada berbagai prosesi peringatan yang dilaksanakan. Setiap tempat berbeda sesuai adat dan tradisi yang berkembang. Namun, di antara beragam tradisi tadi, tersimpan hikmah pada prosesi ngabageakeun Muharam itu. Mungkin tak ada lagi bubur suro, tetapi dua cara orang Sunda–seperti disampaikan K.H. A.F. Ghazali dalam ceramahnya–dalam menyambut Muharam memiliki nilai sangat penting diaplikasikan di alam modern ini.

Puasa asyura misalnya merupakan ibadah. Sebelum disyariatkannya puasa Ramadan, puasa asyura sudah disunahkan Nabi. Puasa asyura menjadi tahapan latihan dalam proses pensyariatan puasa di bulan Ramadan. Islam mengajarkan puasa agar lebih peka merasakan derita orang lain. Dengan cara itu pula, berpuasa pada 10 Muharam memungkinkan untuk memaknai kesyahidan Sayyidina Hussein.

Jika puasa asyura lebih berdimensi vertikal, pembagian bubur suro adalah ibadah berdimensi horizontal. Bubur suro hanyalah satu simbol budaya hasil kreasi para wali dalam mengajarkan agama. Pesan yang sesungguhnya dari tradisi ini adalah bersedekah. Tentu saja pemberian sedekahnya tidak harus dengan bubur. Boleh jadi bagi orang kaya, sedekah itu dapat berupa uang, pemberian beasiswa, berbagi ilmu pengetahuan, kebijakan penguasa yang prorakyat, apa saja sesuai kapasitasnya masing-masing.

Jadi, sambutlah tahun baru Hijriah ini dengan puasa dan sedekah! Selamat tahun baru Hijriah ;)

silahkan di share

1 komentar:

Author
avatar

Kunbal sukses follback sukses, semangat terus gan bikin postingan bermanfaat :)

http://spiritualmuslim.mywapblog.com

Reply